Selasa, 07 Oktober 2008

Tahun Politik = Tahun Pengurusan Rakyat

INFO: Presiden mengingatkan, 2008 dan 2009 adalah tahun politik. Untuk itu ia meminta agar dilaksanakan politik yang tidak partisan dan mendahulukan kepentingan rakyat. (SINDO, 07/10/2008)

KOMENTAR: Sebagian besar politisi dan partai politik di negeri ini masih memiliki pemahaman tentang politik yang salah kaprah. Politik yang seharusnya dipahami sebagai aktivitas mengurusi rakyat, hanya dipahami oleh mereka sebagai aktivitas yang terbatas pada lobi-lobi politik, penetapan kepemimpinan negara, penetapan undang-undang, kampanye jelang pemilu termasuk melaksanakan pemilu itu sendiri. Sungguh pemahaman yang sangat terbatas dan sempit. Pemahaman yang benar tentang politik tentunya didasarkan pada pendefinisian politik secara benar. Disebutkan dalam kamus Al Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata Sasa – yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan suatu aturan tertentu yang berupa perintah dan larangan. Namun sayang sekali, banyak politisi dan partai politik yang memahami partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (lihat Dasar-dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo, Gramedia, 1998).
Pemahaman terbatas tentang politik tersebut mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
1. Partai politik dan para politisi memiliki sikap pragmatis yang cenderung akan selalu mengedepankan kepentingan mereka. Mereka hanya sibuk “berpolitik” dan mendekati rakyat di saat mereka memiliki kepentingan untuk itu. Contoh, mereka akan mendekati dan memperhatikan rakyat di masa-masa kampanye jelang pemilu/pilkada. Setelah usai, mereka kembali “tidak peduli”. Mereka serahkan urusan rakyat kepada pemerintah yang menjabat. Demikian pula di saat menyusun RUU atau aturan yang sejenisnya, mereka akan cenderung mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan kelompok mereka dan membuang jauh-jauh hal-hal yang akan merugikan dan mencelakakan mereka. Kepentingan rakyat tidak menjadi prioritas utama. Padahal mereka menyebut dirinya sebagai wakil rakyat.
Penetapan masa jabatan kepala negara dan kepala daerah yang hanya 5 (limat) tahun saja, sejatinya adalah akibat dari adanya sikap pragmatisme para elite politik tersebut. Terlalu banyak yang ingin menjadi dan mencapai posisi kepala negara atau kepala daerah. Sehingga dilakukanlah pemilu/pilkada setiap lima tahun sekali. Padahal jika kita hitung kembali, pelaksanaan pemilu/pilkada tersebut sangat menciptakan biaya yang sangat tinggi (high cost). Belum lagi, jika pemilu/pilkada diadakan dua putaran. Tentunya, dana yang dipakai adalah uang rakyat. Andai saja, pemilu tidak dilakukan sebagai aktivitas rutin lima tahunan, tentunya pemerintah akan dapat mengalokasikan dana tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga pembangunan dapat berjalan optimal. Akan diperoleh banyak hal dengan dana tersebut. Sekolah-sekolah akan berkondisi layak pakai, sarana dan infrastruktur tersedia, rakyat dapat memperoleh produk yang dibutuhkannya dengan mudah dan murah, kemiskinan akan sangat jauh berkurang, kebodohan akan tereliminasi, dan tentu ujungnya kesejahteraan rakyat tercapai. Semua rakyat akan menjadi “orang kaya”.
Mengapa pemilihan kepala negara/kepala daerah tidak perlu dilakukan secara rutin lima tahun sekali? Tentunya, hal ini sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, bahwa kepemimpinan negara/daerah adalah kepemimpinan yang berlaku seumur hidup pada pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat. Pemimpin negara/daerah terpilih akan berhenti dan diberhentikan dari posisinya, jika secara nyata pemimpin negara tersebut tidak memiliki kemampuan lagi untuk memimpin atau melakukan kemaksiyatan yang menyebabkan yang bersangkutan dinyatakan tidak layak memimpin. Contoh, memiliki cacat fisik dan mental, meninggal dunia atau bermaksiyat. Dengan model kepemimpinan seperti ini, tentunya akan sangat menghemat uang rakyat untuk dibelanjakan pada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu, seperti pembuatan spanduk setiap lima tahun sekali, stiker, kertas suara, spot iklan, kotak suara, pembangunan TPS, honor petugas TPS dan sebagainya. Namun sebaliknya, dana tersebut akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Para politisi tidak bersaing dalam memperebutkan posisi pemimpin negara/daerah. Karena mereka sama-sama memahami bahwa siapa saja pemimpinnya, yang sejahtera adalah semuanya, baik rakyat maupun politisi yang tidak terpilih menjadi pemimpin negara/daerah. Bahkan pemimpin negara bersedia “menderita”, asalkan rakyatnya dapat sejahtera. Itulah pemimpin sejati. Karena mereka yakin, bahwa kebahagiaan di dunia berupa kekuasaan dan kekayaan, bukanlah tujuan inti dari hidupnya. Mereka yakin bahwa kehidupan di akhirat kelak-lah yang ingin dicapainya.
Pemahaman seperti ini akan dimiliki rakyat, jika saja partai politik memahaminya dengan baik dan berupaya melakukan pembinaan kepada rakyat agar memiliki pemahaman yang sama. Rakyat akan memahami bahwa ajang pemilu adalah ajang menentukan pemimpin yang akan melakukan fungsi ri’ayah su’unil ummah (mengurusi urasan rakyat), bukan melahirkan pemimpin yang ingin memiliki kemudahan akses dalam memperoleh kekuasaan dan kekayaan.
2. Tidak optimalnya penyelesaian urusan rakyat. Urusan rakyat dianggap sebagai urusan pemerintah yang terpilih sebagai hasil “aktivitas berpolitik” mereka. Kondisi seperti ini, tentunya akan menciptakan tenaga dan “energi” SDM wakil rakyat yang idle (tidak termanfaatkan). Semestinya, wakil rakyat (para politisi & parpol) bekerjasama secara optimal dengan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat. Pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan kepemerintahaan dan menjalankan program-program pembangunan secara terarah dan terencana. Wakil rakyat melakukan controlling terhadap kebijakan yang dijalankan pemerintah. Dikoreksi jika pemerintah melakukan kesalahan. Dan yang tidak kalah penting juga adalah melakukan pembinaan kepada rakyat, agar rakyat berada pada koridor yang benar dan berperan aktif dalam pencapaian kesejahteraan bersama. Jika kondisi ini terwujud maka percepatan pencapaian kesejahteraan rakyat akan mudah diraih.
3. Rakyat cenderung tidak peduli dengan hal-hal yang disampaikan partai politik dan politisi. Parpol dan politisi mengumbar janji dan program-program pembangunan pada saat kampanye, namun setelah mereka memimpin, mereka sering lupa bahkan melupakan janji dan program yang pernah terlontar di saat kampanye tersebut. Rakyat pun kecewa. Kondisi seperti ini selalu berulang setiap kampanye dan saat mereka telah meraih posisi yang diinginkannya. Mengapa? Karena platform para politisi tentang parpol memang sudah salah kaprah sedari awal. Pendefinisian politik dan parpol sangat pragmatis. Melihat kondisi seperti ini, tentu saja rakyat kecewa dan merasa “tertipu”. Sehingga pada akhirnya memunculkan ketidak-pedulian rakyat terhadap para politisi dan partai politik. Terciptalah angka golput yang tinggi pada setiap pilkada, bahkan pada pemilu. Parpol dan para politisi pun beramai-ramai menyatakan “perang” terhadap golput. Sebagian slogan mereka, “say no to golput”, “yang golput jangan jadi WNI” dan sebagainya. Sikap yang aneh. Seharusnya, mereka berpikir ulang dan introspeksi diri atas penyebab meningkatnya angka golput. Mereka harus sadar bahwa rakyat semakin cerdas, bahwa mereka hanya akan memilih pemimpin dan wakil rakyatnya yang tidak hanya mengumbar janji saat kampanye. Pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih adalah mereka yang betul-betul peduli terhadap rakyat, memiliki cita-cita menciptakan kesejahteraan rakyat dan tidak berambisi memperkaya diri sendiri.
Dari uraian di atas, tentunya presiden, wakil rakyat dan politisi lainnya, mestinya menjadikan setiap tahun sebagai tahun politik. Hari-harinya sebagai hari politik. Yaitu tahun dan hari dimana aktivitas mengurusi rakyat dilakukan.

Tidak ada komentar: